Cerita dibawah ini merupakan
sebuah perpaduan antara pengalaman dan imajinasi tingkat tinggi. dari tema yang disediakan yaitu "Cinta Pada Pandangan Pertama" aku mengambil judul "Manik Coklat". Oke semoga cerita dibawah menghibur ya :D
Manik Coklat
Sabtu
pagi yang bisa dibilang cerah tetapi suasana disekitarku tak secerah langit
biru yang dihiasi gumpalan kapas putih nan lembut. Aku terbangun dengan selimut
yang sudah menjuntai ke lantai, bantal yang berpindah posisi sebagai guling,
juga pulau kecil hasil tidurku semalam. Terlebih lagi saat keluar kamar. Aku hanya
melihat kakakku yang tiduran diatas sofa bersama selimut yang nasibnya sama
seperti dikamarku.
Aku
melangkah menuju kamar mandi dengan handuk putih di bahu kanan. Sekilas aku
melihat ke arah meja makan, sudah ada nasi goreng yang telurnya sudah lenyap. Siapa
lagi kalau bukan kakakku yang melenyapkannya. Pasti tadi saat Ibu selesai
masak, dia langsung menyantap miliknya dan mengambil telur bagianku.
Oya,
hari Sabtu ini aku ada ekskul disekolah. Mulainya pukul 09.00 dan sekarang
pukul 07.30, masih banyak waktu untuk hal yang tidak berguna seperti memandang
diriku sendiri dicermin atau pura-pura menikmati suasana pagi yang cerah. Lebih
tepatnya aku hanya memandang kosong langit yang cerah itu.
Usai
mandi dan berpakaian aku menuju meja makan untuk menyantap nasi goreng tanpa
telur tadi. Seperti biasa, nasi goreng ini rasanya standar dari hasil bumbu
racikan yang siap jadi. Maklum, ibuku tidak punya waktu untuk hal semacam
meracik bumbu dengan ulekan tradisonal. Aku hanya menghabiskan setengah piring
nasi goreng dan langsung beranjak ke halaman belakang untuk menikmati pagi yang
cerah alias memandang kosong tanpa arti.
Suatu
kebiasaan yang diisi dengan khayalan tinggi nan mustahil, salah satunya adalah
kisah cinta. Ngomong-ngomong soal cinta, aku memang belum pernah mengalami
jatuh cinta apalagi dicintai. Setidaknya aku punya kehidupan cinta dalam
khayalanku.
Pagi
ini aku membayangkan sesosok laki-laki yang paras wajahnya seperti Justin
Bieber atau Liam Hemsworth yang sedang mengusap helaian rambutku. Sementara aku
menyandarkan kepalaku dibahunya. Terlihat begitu mesra dengan keadaan
sekeliling yang hangat seperti rajutan cinta yang sangat rapat. Sayangnya,
mereka harus berhenti dan menghilang begitu saja dari pandanganku karena
teriakan melengking milik si penggemar
telur.
“De,
nasi gorengnya gue abisin ya” teriak kakakku dari ruang makan. Ya, si penggemar
telur yang kumaksud memang kakakku. Aku tak ada niatan untuk menjawabnya,
karena aku yakin tanpa jawaban pun 2 suap nasi goreng tadi sudah ada di dalam
mulutnya.
Aku
melirik ke jam dinding yang ada di ruang keluarga. Pukul 08.00, aku harus
siap-siap kalu tidak mau jadi sorotan saat masuk ruang ekskul. Kemudian aku
beranjak menuju kamar untuk siap-siap. Aku mengambil backpack coklat milikku, kemudian memasukkan laptop, buku tulis,
tempat pensil, handphone dan dompet.
Aku
beralih ke cermin dan mendapati diriku dengan balutan kaos putih bertuliskan “Justin
Bieber” dipadu jeans hitam yang menampakkan bentuki kakiku. Aku mengambil
sisir, kemudian mulai menyisir rambutku yang panjangnya hanya sebahu. Selesai. Aku
tak berniat menambah penampilanku dengan hal semacam make up atau aksesoris lainnya.
Kemudian
aku menenteng sneakers hitam dan berjalan ke teras depan. Sambil memakai sepatu
aku bergumam dalam hati “Semoga saja aku bertemu laki-laki semacam Justin Bieber
atau Liam Hemsworth. Setidaknya ada satu hal yang mirip saja, aku pasti senang”.
Aku terkekeh pelan saaat menyadari khayalanku terlalu tinggi. Tapi berkhayal
setinggi apapun tak ada larangannya bukan
***
08.55
aku sampai dikelas ekskul, . aku langsung menempatkan tas ku dibangku barisan
kedua. Kelas memang suda ramai, tapi tak ada satupun yang berniat mengisi
bangku barisan depan maupun kedua. Alasannya sih biar bisa lebih banyak
bercanda kalau duduk dibelakang. Buatku sendiri, hal semacam itu tak ada
pengaruhnya untukku. Ya, karena aku
tidak terlalu mengenal teman-teman yang ada disini.
Aku
melihat 2 orang cowok memasuki ruangan, sepertinya salah satu dari mereka mau
mengisi bangku kosong disebelahku. Tapi apa boleh buat, mereka tidak mau
terpisah dan memutuskan duduk didepanku yang kedua bangkunya masih kosong.
Kemudian
aku mengeluarkan laptop dan menekan tombol power. Tak lama setelah itu kakak
kelas yang kukenal sebagai Kak Faldy datang sambil membawa laptopnya. Tepat setelah
Kak Faldy meletakkan laptop diatas meja, pintu diketuk dan masuklah seorang
cowok dengan setelah kaos hitam polos, jeans biru dongker, dan sepatu sport
hitam. Penampilannya cukup keren, hmmm ralat penampilannya seperti terlihat
tanpa celah.
Cowok
itu permisi kepada Kak Faldy dan mengalihkan pandangan mencari tempat kosong. Pandangannya
jatuh kepada bangku kosong disampingku. Ya kemungkinan cowok itu duduk
disampingku memang sangat besar. Detik selanjutnya kemungkinan itu terjawab
saat sebuah tas mendarat dibangku sampingku dan cowok tadi duduk sambil
mengeluarkan laptopnya. Aku kembali menatap layar laptopku yang sedang berada
di pengaturan blog pribadiku.
Menit
selanjutnya Kak Faldy mengabsen yang hadir. Aku berharap Kak Faldy menyebut
sebuah nama yang membuat cowok disampingku mengacungkan tangannya atau apalah
yang menunjukkan nama itu miliknya. Tapi sampai menjelang namaku disebut dia
tidak juga melakukan itu.
“Vania
Arisha” mendengar nama itu disebut aku langsung mengangkat tangan kananku
dengan tatapan muka tetap ke layar laptop.
Sedetik
setelah itu aku merasa cowok disampingku membuat tatapan ingin tahu. Aku berusaha
bersikap biasa, tapi sebuah pertanyaan meluncur dari cowok itu.
“Jadi,
Lo yang namanya Vania Arisha?” tanya cowok itu.
Aku
mengalihkan pandanganku dari layar laptop. Lalu aku mendapat sepasang iris mata
coklat gelap yang sekilas terlihat hitam sedang menatapku. Oh tidak, matanya. Dua
iris coklat gelap itu dapat membuatku terpaku dan dengan cara menatapnya yang
seperti itu membuat sesuatu didalam dadaku berdetak 2 kali lebih cepat. Untung saja
aku tidak sampai membiarkan mulutku menganga lebar.
“Hhhh
iya, dam lo?” jawabku dengan hembusan nafas yang tidak kentara.
“Gue?
Gue Farren. Gue baru tau yang namanya Vania itu ternyata lo. Temen gua banyak
yang ngefans sama lo tuh”
“Ohh”
jawabku sekenanya dan langsung menatap layar laptopku. Aku tidak sanggup
menatapnya teralalu lama. Bisa-bisa aku tidak dapat mengontrol mulutku untuk
menganga lebar ataupun hal lain yang dapat memepermalukan diriku sendiri.
“Hmmm
oke salam kenal ya.....”
“Just Vani” sambungku cepat.
“Oke Vani kita lanjutin nanti ya”
Aku tak menjawab kata
terakhirnya. Karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya apa
yang mau dia lanjutin? Kenalan? Tapi kan tadi udah kenalan. Huh aku berusaha
menyibukkan diri dengan laptop yanng ada dihadapanku. Aku berusaha menormalkan
detak jantungku dan mengalihkan pikiranku dari kejadian barusan.
Sebenarnya aku teringat dengan
khayalanku saat memakai sepatu diteras tadi pagi. Aku tau Farren tidak semirip
Justin Bieber atau Liam Hemsworth. Tapi setidaknya mata coklat gelap itu
mewakili segalanya. Kejadian tadi bukan sebatas terpesonanya diriku pada Farren
atau kekaguman sesaat saja. Aku rasa jatuh cinta pada pandangan itu terlalu
cepat, tapi tak ada salahnya aku merasakan cinta pandangan pertama.
Fikiranku berkata
“Kukira sebuah perkenalan hanyalah saling
menyebutkan nama dan mengucapkan kebahagiaan karena saling mengenal. Tapi aku
menarik ulang kata-kataku. Dalam sebuah perkenalan pasti ada kontak mata yang
bisa membuat segalanya terfokus pada sepasang manik mata itu. Mungkin terlalu
cepat untuk dibilang cinta, tapi apakah kau percaya dengan Cinta pada pandangan
pertama”
Tokoh yang
ada dalam cerita ini bukan yang ada pada kenyataan, tapi sebuah tatapan coklat
gelap memang benar adanya. Kelanjutannya belum ada. Tapi mungkin akan ada, jika
Farren mau menganalku lebih. Untuk saat ini aku hanya sebatas memiliki
kontaknya dan mengikuti akun pribadinya. Aku rasa terlalu berlebihan jika aku
menganggap sesuatu akan terjadi antara aku dan Farren. Tapi aku hanya manusia
yang merupakan sub jenis dari makhluk hidup, yang mana selagi mempunyai nafas
harapan itu pasti ada.
0 komentar:
Posting Komentar