Pages

Sabtu, 06 September 2014

Karena Terbiasa - Semua Itu Karena Perjalanan Yang Terbiasa

...
Tau semua itu karena terbiasa? Ya aku terbiasa untuk menatapmu. Aku terbiasa untuk mendengar semuamu. Bahkan detakan jantungku menerima kehadiran dirimu yang memboyong sebuah sengatan hangat yang kadang membuat diriku terpaku pada satu sosok yang ada di depanku.
Kenapa aku bisa merasakan itu semua? Ya aku bisa merasakan karena aku punya indra yang bertugas untuk itu. Aku dapat melihat pancaran hangat dari sorot matamu, aku bisa meraba betapa dekatnya dirimu dengan diriku, dan aku dapat mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh pita suaramu.
Itu semua terjadi karena sebuah perkenalan yang berujung pada jatuh cinta. Terlalu cepat tapi memang sangat menyengat. Kadang, aku berfikir terlalu egois merasakan ini semua. Kadang juga aku harus memaksakan diriku untuk tetap optimis didepan mu, diantara banyak ketidakyakinan dalam diriku sendiri. Kau yang menyadarkan aku bahwa semua itu "KARENA TERBIASA"
Karena Terbiasa
Oleh : Kartini Avilia (XI AP 1-SMKN 22 Jakarta '16)


            “Jadi Lo ke BaBel dulu baru Batam?” tanya Vano. Ia bersama seorang temannya, Bian sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka.
            “Iya gitu. Jadi, kita gak bakal ketemu selama jalan kali ini. Lagian kenapa diskon yang gue dapet jadi awal sih. Coba kuota diskon yang sama kayak lo belom penuh” jawab Bian dengan nada menyesal.
            Sebagai seorang yang punya hobi menjelajah, mereka berdua pasti mencari ongkos yang hemat untuk ketempat tujuan. Tapi, itu juga merupakan kendala yang dialami mereka kali ini. Kadang kalau mereka harus merogoh kocek yang lebih dalam untuk memenuhi hasrat hobi mereka.
           “Yaudah, kali aja kalo kita pisah bakal banyak kenangannya. Terus pulang-pulang gak cuma istirahat seharian. Tapi, bisa cerita sepuasanya sampai abis tuh topik. Kan kalo kita bareng gak perlu diceritain lagi, orang sama-sama ngalamin”
Original story by : Kartini Avilia
            “Iya, iya bos. Terus lu pertama kemana? Yogya?” tanya Bian.
            “Pasti. Gue kan dapet diskon pesawatnya pas abis seminggu di Yogya. Lagian bagus juga kalo lo ke BaBel duluan. Seenggaknya disana bisa ketemu cewek yang tipe lo. Lo kan suka yang sipit kayak Lea gitu” ucap Vano. Ia menyindir Bian yang baru saja putus dari manatan pacaranya, Lea.
            “Mau sampe kapanpun gue masih ngarepnya sama Lea” jawab Bian tegas. Ia tidak suka apabila ada orang yang menyinggung hubungan dia dengan Lea. Sebenarnya, putusnya Lea dengan Bian karena omongan Bian sendiri.
            “Lagian lo ngomong asal aja. Ketauan kalo cewek denger kritik tentang baju yang dia pakai gampang sakit hati.”
            “Udahlah ganti topik. Itu lupain aja.”
            “Katanya masih ngarep tapi kayak begini aja langsung mau lupain” timpal Vano dengan nada meledek.
            Bian tidak lagi menjawab omongan Vano. Ia kembali sibuk memasukkan keperluan yang akan dia bawa ke backpack hitam miliknya. Demikian juga Vano, ia kembali asyik dengan barang-barang  yang akan dibawanya
 Original story by : Kartini Avilia
***
Original story by : Kartini Avilia 
            Pagi ini Bian dan Vano sudah ada di bandara. Masing-masing dari mereka membawa backpack  warna hitam. Penampilan mereka terlihat santai dengan jeans, kaos, dan juga sepatu sneakers. Saat pengumuman gerbang menuju boarding  sudah dibuka, mereka harus berpisah untuk menuju penerbangan masing-masing.
            “Van hati-hati, nikmati Yogya sepenuhnya” ucap Bian sambil mengacungkan ibu jarinya ke Vano.
            “Pasti. Lo juga, nikmati Babel sepenuhnya.”
            Setelah melewati beberapa prosedur, akhirnya Vano duduk juag dibangku penumpang pesawat yang akan membawanya ke Yogya. Disampingnya duduk seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu. Perempuan itu memiliki hidung yang mancung dan mata yang tidak terlalu sipit. Saat sedang memperhatikan wajah itu, perempuan tersebut menengok ke arah Vano. Sesaat dia kaget, kemudian dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
            “Hai” sapa perempuan tersebut.
            “Hai. Hmmmm....Gue...Devano Reuel...panggil Vano aja” jawab Vano kikuk.
            “Gue Anna Chedva. Panggil aja Anna. Hmmm ke Yogya sendiri?”
            “Eh...iya nih. Cuma mau jalan aja soalnya”jawab Vano.
            “Oh, suka menjelajah kota juga?” tanya Anna.
“Iya bisa dibilang gitu. Lo sendiri?”
“Lumayan lah, tapi kali ini urusan kerjaan sih”
“Oh begitu. Hmmm salam kenal ya Anna.”
“Salam kenal juga Vano”

Mereka kembali asyik dengan kegiatan masing-masing. Vano dengan earphone-nya dan Anna dengan novelnya. Setelah perkenalan tersebut, sebenarnya Vano ingin terlibat obrolan dengan Anna. Tapi, melihat Anna yang asyik dengan novel yang dibacanya membuat Vano mengurungkan niatnya tersebut.
Original story by : Kartini Avilia
Entah sejak kapan jantung Vano berdetak dua kali lebih cepat, telapak tangannya juga berkeringat. Lagu yang didengarnya seperti menyatu dengan suara Anna saat perkenalan tadi. Rasanya fikiran Vano sedang dipenuhi oleh sosok Anna. Tapi, hingga pada saatnya pesawat mendarat Vano dan Anna tetap diam dalam kegiatan masing-masing.

***
 Original story by : Kartini Avilia
Tak terasa seminggu di Yogya sudah terlewat. Sekarang waktunya Vano melanjutkan perjalanan ke Babel. Sayangnya, Bian sudah kembali ke Jakarta karena atasannya meminta ia untuk hadir di sebuah acara. Bian juga membatalkan perjalanannya ke Batam. Jadi, terpaksa Vano lagi-lagi menjelajah sendiri.
Vano kembali menggunakan penerbangan yang sama seperti ke Yogya seminggu yang lalu. Ngomong-ngomong selama seminggu di Yogya, ia tidak bertemu dengan Anna. Mungkin Anna memang sibuk dengan pekerjaannya, sementara Vano memang datang ke Yogya untuk liburan. Jelas saja, jika ia tidak bertemu Anna.
Memasuki pesawat Vano kembali teringat peristiwa perkenalannya dengan Anna. Ia yang sedang mengagumi bentuk wajah Anna, suara Anna, dan juga tatapan Anna. Sesaat dia berharap untuk kembali bertemu Anna. Tapi, hingga pesawat lepas landas dari bandara sosok Anna hanya dapat mengisi angan Vano.
Original story by : Kartini Avilia
Entah mengapa sosok Anna seperti mempunyai magnet tersendiri pada diri Vano. Vano sendiri mendapati bahwa dirinya memang sedang berharap Anna ada disampingnya. Perkenalan kemarin bukan hanya sekedar saling menyebutkan nama. Tapi saling mengaliri sengatan cinta yang memacu detak jantung dua kali lebih cepat. Juga tatapan mata yang memancarkan suasana hati. Rasanya memang terlalu cepat bila dibilang jatuh cinta. Tapi, itulah yang dialami Vano. Mengapa ia merasa jatuh cinta pada orang yang dirasa tidak akan bertatap muka lagi dengannya. Meskipun bisa, itu merupakan suatu jalan dengan kemungkinan kecil untuk bisa dilewati.
Selama di pesawat, Vano hanya berfikir dan membayangkan apa yang ia rasa, Anna, dirinya, seperti sesuatu kesalahan untuk bisa dirasakan. Sampai pada akhirnya pesawat kembali mendarat. Vano membawa dirinya ke sebuah kafe di bandara, ia ingin menikmati secangkir kopi dan makanan ringan sebelum ia menuju ke hotel yang disarankan oleh Bian.
Tiba-tiba Vano merasa pundak kanannya ditepuk oleh seseorang, kemudian ia berbalik untuk melihat orang tersebut. Detik selanjutnya, Vano mendapati sesosok perempuan dengan rambut hitam sebahu, hidung mancung, dan juga mata yang tidak terlalu sipit.
“Anna?” kata Vano.
“Hai Vano. Akhirnya kita ketemu lagi. Gue kira kita gak bakal ketemu lagi.” Sapa Anna dengan ceria. Sesaat Vano ingin mengatakan bahwa dia sudah sangat berharap bertemu Anna lagi. Tapi demi menjaga harga diri, Vano menjawab dengan hal-hal yang standar.
Original story by : Kartini Avilia
“Eh iya....halo Ann. Urusan kerja juga disini?” tanya Vano.
“Nggak kok, gue mau liburan disini. Lo sendiri tinggal di Babel atau mau lanjutin perjalanan hobi lu?”
“Udah pasti buat hobi gue. Kalo gue sih tinggal di Jakarta. Ngomong-ngomong kalo emang sama mau liburan, gimana kalo kita bareng aja?” tawar Vano. Kali ini dirinya sudah bisa menyesuaikan antara detak jantung dan kata-kata yang keluar dari mulutnya saat berhadapan dengan Anna.
“Boleh, ide bagus tuh. Mulai besok kita jalan yuk”
“Oke mulai dari kuliner ya. Pokoknya kalo ketempat yang pemandangannya bagus belakangan aja dulu. Gue penasaran sama kuliner disini. Gimana?”
“Terserah lo aja Van. Atur aja, yang jelas gue pasti ikut kok.”
Kemudian handphone Vano berbunyi menandakan adanya panggilan masuk. Setelah dilihat ternyata dari Bian, ia menghindar sedikit dari depan Anna lalu menerima panggilan tersebut. Dalam teleponnya, Bian memberi kabar bahwa dirinya sudah sampai di Jakarta. Selesai menerima telepon tersebut, Vano kembali duduk di bangkunya.
Original story by : Kartini Avilia
“Oiya Van, besok janjian dimana? Kan gue belom tau lo nginepnya dimana.” Tanya Anna.
“Hmmm gue dikasih saran sama temen nginepnya di hotel Marinka aja, katanya disitu gak terlalu mahal terus deket kalo mau kemana-mana.” Jawab Vano.
“Hotel Marinka? Iya disitu emang murah kok. Gue juga nginep di hotel itu. Berarti kalo hotel kita sama janjiannya di lobby ya Van.”
“Oke sip. Ngomong-ngomong kalo lo udah 2 hari disini kok sekarang ke bandara?” tanya Vano penasaran.
“Hmmm tadi itu nganterin temen, dia juga suka jalan kayak lo gitu. Terus dia gak jadi lanjutin jalan ke Batam karena diminta atasannya buat dateng gitu. Jadi dia harus balik ke Jakarta. Padahal katanya ada temennya yang mau dateng dari Yogya hari ini. Tapi gak tau jadi atau nggak, orang dianya aja udah ke Jakarta” jelas Anna.
Sesaat Vano teringat dengan Bian. Bian batal ke Batam karena ada urusan kantor, terus bakal ada temen yang dateng hari ini.
“Kok kayaknya........yang dimaksud temennya itu gue deh” Vano menebak-nebak.
Anna menatap bingung. Ia mencoba mencari maksud dari omongan Vano. Tapi pada akhirnya Vano kembali melanjutkan.
Original story by : Kartini Avilia
“Jadi gue punya temen yang abis dari sini juga, terus gue punya rencana buat nyusul dia kesini hari ini. Tapi semalem dia ngasih kabar harus pulang hari ini karena besok ada acara kantor, jadi gue terserah mau balik ke jakarta atau lanjut ke Babel. Daripada sayang tiket yang udah gue beli, mending gue kesini aja” lanjut Vano menjelaskan.
“Nama temen lo Fabian.....Eve......”
“Fabian Everald maksud lo?”
“Nah iya itu. Berarti temen yang dia maksud itu lo dong. Ternyata dunia ini sempit ya” kata Anna.
“Ya begitulah. Gue nggak nyangka ternyata lo kenal juga sama Bian. Bian gak pernah cerita punya temen namanya Anna.”
“Bentar bentar, gue itu kenal Bian juga baru dua hari yang lalu pas di hotel. Waktu itu gue nanya tempat makan yang enak dimana, terus dia nunjukkin deh disekitar hotel. Kita juga sempat cerita tentang pekerjaan. Terus dia curhat kalo dia baru aja diputusin sama pacarnya” ucap Anna.
“Oh gitu, gue kira lo temen lamanya Bian. Iya emang dia baru aja diputusin pacarnya. Makanya gak lama kemudian dia minta cuti buat pergi kesini biar gak terus-terusan galau”
Obrolan mereka berlanjut ke hal-hal lain yang menyangkut keseharian mereka. Kemudian mereka beranjak dari bandara menuju hotel Marinka.
Pertemuan yang sangat diharapkan oleh Vano ini akhirnya terwujud. Sepenuhnya dari diri Vano bersorak gembira. Seharian ini ia bisa beratatap langsung dengan Anna yang sempat putus asa untuk bertemu kembali. Hari ini seperti, perjalanan menuju sesuatu yang menyenangkan. Mungkin memang benar, untuk menggapai sesuatu jangan takut untuk berharap yang terbaik. Karena hari ini Vano telah membuktikan. Dia sudah sangat berharap untuk bertemu dengan Anna meskipun kemungkinannya sangat kecil. Tapi waktu dan tempat mempertemukan mereka lagi.

***

Esok harinya mereka mendatangi beberapa kios penjual makanan khas Babel. Mulai dari yang pinggiran jalan, hingga satu toko yang terlihat lebih elit. Hari itu mereka lewati dengan perut yang terisi dengan berbagai macam makanan khas Babel.
Baik Anna dan Vano sama-sama menikmati kebersamaan mereka hari ini. Anna merasa dirinya menjadi prioritas selama perjalanannya mereka memburu makanan. Begitu juga Vano yang merasa dirinya diterima baik oleh Anna. Keduanya menutup hari itu dengan minuman hangat didekat hotel.
Esok hari terakhir mereka di Babel. Seperti yang telah dijanjikan, besok mereka akan ke pantai Tanjung Tinggi pada sore hari. Mungkin bukan hanya salah satu dari mereka yang merasa akan ditinggal sosok yang diharapkan selalu ada disampingnya. Tapi keduanya berharap hari esok berjalan lebih lambat saat mereka berdua menikmati sore di Tanjung Tinggi.

***
 Original story by : Kartini Avilia
Angin yang berhembus dari barat, jingga yang memenuhi langit dan satu titik yang menjadi acuan melihat yaitu sang mentari akan tenggelam. Sejak satu jam yang lalu, Anna dan Vano sudah berada di pantai tersebut. Duduk diatas batu besar menghadap ke sang matahari. Menikmati angin sore yang menerpa wajah mereka. Melepas setiap lelah yang terlewat dan menanti kekuatan melewati hari selanjutnya. Menyatu dengan alam sepenuhnya, fikiran dan jiwa.
Masing-masing mereka mulai mengulang rekaman kejadian beberapa hari sebelum ini. Perasaan yang membangunkan hati yang tidur. Debaran yang membuat semuanya mendapat sengatan cinta. Kadang rasa seperti itu hanya ilusi dalam angan yang terlalu tinggi. Tapi kalau kenyataan memang untuk angan tersebut, disinilah mereka. Anna dan Vano, saling menikmati alam sekaligus menikmati kebersamaan mereka.
Entah keberanian dari mana, Vano memegang tangan kiri Anna. Kemudian memegangnya erat-erat. Mereka seperti terhipnotis dengan pemandangan yang ada di depan mereka.
“Ann kalo seperti ini, bisa merasakan cinta nggak?” tanya Vano sambil tetap memegang erat tangan Anna.
“Apapun kalo semua terbiasa kita akan jatuh cinta pada hal tersebut.”
“Kalo kita baru pertama kali ngerasain tapi langsung bisa menikmati, bisa dibilang cinta?”
“Bisa karena semua yang kita rasa ada di indra yang kita punya. Mereka bertugas merasa apa yang menatap kita, apa yang terdengar oleh kita, dan memahami suasana yang ada disekitar kita. Jadi jangan salahkan diri kita kalo mudah jatuh cinta dengan hanya satu kali pandang. Semua itu karena terbiasa.”
“Gue suka tatapan lo waktu pertama menatap gue. Gue suka suara lo saat menyapa gue pertama kali. Itu semua yang dirasa sama indra gue. Itu bisa dibilang cinta? Tapi gue merasa itu semua terlalu cepat. Gak selayaknya seseorang yang belum terbiasa jatuh cinta bisa merasakan hal seperti itu.”
Original story by : Kartini Avilia
“Yang perlu lo pahami tentang terbiasa disini adalah hati lo yang sudah terlatih menerima satu getaran cinta untuk satu orang yang dianggap memang cocok sama hati lo. Gak peduli seberapa terbiasa jatuh cinta yang lo alamin. Karena terbiasa bukan hanya untuk jatuh cinta tapi untuk kekaguman.”
Kemudian mereka berdua membuka mata mereka dan saling beratatapan. Mereka saling menatap 2 pasang manik mata yang sama-sama memancarkan cinta. Mungkin tatapan itu tak bertahan lama, tapi pancaran dari mata mereka telah tertanam di satu sama lain.
“Semua ini karena gue terbiasa bersama lo, semua ini karena lo terbiasa sama gue. Waktu memang terasa singkat untuk kita berdua, tapi terbiasa yang lo maksud itu gak kenal waktu. Seberapa singkat pertemuan kita tetap getaran itu sampai ke hati gue.”
“Ya bukan lo aja yang ngalamin itu. Ini semua yang gua harapkan dari hadirnya lo setelah di pesawat itu. Lo yang bisa menatap gue dengan cara yang beda. Didepan lo gue benar-benar menjadi diri gue Van.”
Detik selanjutnya mereka kembali menatap sang matahari turun ke peraduan. Anna menumpukkan kepalanya di bahu kanan Vano. Ya disitulah mereka, mengutarakan apa arti perasaan yang mereka alami semenjak pertemuan. Menganalisis arti dari sebuah kalimat ‘karena terbiasa’ dan benar-benar menggunakan indra mereka untuk merasakan suasana sekeliling mereka. Devano Reuel dan Anna Chedva.



Original story by : Kartini Avilia

0 komentar:

Posting Komentar